BajambaNews.Com | ArtaSariMediaGroup ~ Kebijakan Gubernur Jawa Barat (Jabar), Dedi Mulyadi, yang mengeluarkan surat edaran (SE) tentang gerakan donasi Rp1.000 per hari untuk Aparatur Sipil Negara (ASN), siswa, hingga masyarakat luas, memunculkan pro dan kontra. Gerakan yang bertujuan untuk membantu sektor pendidikan dan kesehatan di Jabar ini menuai kritik, meski digagas dengan niat baik dan semangat gotong royong.
Menurut Muhammad Khozin, Anggota Komisi II DPR RI dari Fraksi PKB, penggunaan SE dalam konteks moral justru kurang tepat. “Gerakan kegotongroyongan yang diinisiasi oleh Gubernur Jabar ini sangat bagus secara moral, tetapi tidak relevan apabila dijadikan kebijakan resmi dalam bentuk surat edaran,” kata Khozin dalam acara Ruang Publik KBR (Rabu, 8/10/2025). Ia mempertanyakan penggunaan surat edaran untuk sebuah gerakan moral, yang menurutnya harusnya bersifat sukarela dan tidak dijadikan kewajiban atau kewenangan pemerintah dalam mengatur warganya.
Gerakan Moral yang Tertuang dalam Surat Edaran
Surat Edaran yang dikeluarkan Gubernur Dedi Mulyadi tersebut mendorong ASN, masyarakat, serta siswa untuk menyumbang Rp1.000 setiap hari. Meskipun nominalnya terlihat kecil, kebijakan ini tidak lepas dari potensi beban sosial yang besar, terutama bagi mereka yang sudah kesulitan secara ekonomi. “Mungkin bagi sebagian orang, Rp1.000 tidak menjadi masalah. Namun, bagi mereka yang kesulitan ekonomi, ini bisa menjadi beban tambahan,” tegas Khozin.
Dia juga menyebutkan, meski secara yuridis kebijakan ini sah, namun aspek sosiologisnya kurang tepat, karena bisa mempengaruhi persepsi publik terhadap pemerintah. “Jangan sampai pemerintah dianggap tidak memiliki kreativitas dalam mengelola anggaran untuk sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan,” lanjut Khozin.
Risiko Kebocoran dan Ketidakjelasan Mekanisme Pengelolaan Dana
Gurnadi Ridwan, Peneliti dari Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), juga menyoroti potensi penyalahgunaan dan kebocoran dana donasi tersebut. “Mekanisme pengelolaan dana ini belum diatur secara rinci dalam SE, yang membuatnya rentan terhadap manipulasi atau ketidaksesuaian dalam penggunaannya,” ujar Gurnadi.
Ia menambahkan bahwa jika program ini diterapkan secara tidak hati-hati, bisa menciptakan dinamika negatif di masyarakat. Bahkan, bila ada target tertentu dalam pengumpulan donasi, hal itu bisa berpotensi menjadi tekanan bagi masyarakat. “Meskipun disebut sukarela, ketika ada target, masyarakat bisa merasa dipaksa,” ujar Gurnadi.
Gubernur Dedi Mulyadi : Donasi untuk Kesejahteraan Bersama
Gubernur Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa donasi Rp1.000 per hari ini bertujuan untuk memberikan bantuan langsung kepada masyarakat yang membutuhkan, khususnya dalam hal kesehatan dan pendidikan. “Uang tersebut akan dikelola oleh bendahara kas dan dipergunakan untuk membantu warga, seperti memberi bantuan saat ada keluarga yang sakit atau membayar biaya kontrakan saat menunggu pasien di rumah sakit,” ungkap Dedi dalam acara HUT TNI di Bandung, 5 Oktober 2025.
Gerakan ini, yang mengadopsi model “rereongan” atau sumbangan jimpitan yang sudah ada sejak masa kepemimpinannya sebagai Bupati Purwakarta, diharapkan bisa menjadi contoh bagi warga Jabar untuk saling membantu dalam keadaan darurat.
Program Donasi Tidak Wajib, Namun…
Kepala Dinas Komunikasi dan Informatika (Diskominfo) Jawa Barat, Adi Komar, mengklarifikasi bahwa program donasi “Poe Ibu” bersifat sukarela dan tidak ada unsur pemaksaan. “Gerakan ini adalah ajakan untuk membantu sesama, dan tidak ada hukuman bagi daerah yang tidak melaksanakan program ini,” ujar Adi dalam wawancara.
Adi juga menyebut bahwa dana yang terkumpul akan disalurkan untuk kebutuhan mendesak dan darurat, seperti biaya kesehatan atau pendidikan bagi warga yang membutuhkan. “Kami berharap gerakan ini bisa menghidupkan kembali semangat gotong royong di kalangan warga Jawa Barat,” tambahnya.
Namun, meski demikian, Adi mengakui bahwa dalam pelaksanaan program ini, Pemprov Jabar tidak berkoordinasi dengan pemerintah pusat. “Surat Edaran ini ditujukan untuk jajaran pemerintahan daerah Jabar. Ini lebih ke penguatan budaya dan solidaritas internal Jawa Barat,” jelas Adi.
Penyalahgunaan Dana dan Ketidakjelasan Pengawasan
Agus Pambagio, Pengamat Kebijakan Publik dari PH&H Public Policy Interest Group, mengkritik penggunaan Surat Edaran (SE) untuk kebijakan publik. “SE itu bukan produk hukum yang mengikat. Ini adalah kebijakan yang tidak bisa dipaksakan kepada publik, dan sifatnya lebih internal,” kata Agus. Menurutnya, SE seharusnya hanya digunakan untuk urusan internal pemerintahan, bukan untuk mengatur kegiatan yang melibatkan masyarakat.
Agus juga menyoroti bahwa kebijakan ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah dalam mengelola anggaran daerah, terutama di provinsi dengan jumlah penduduk yang sangat besar seperti Jawa Barat. “Program seperti ini mencerminkan ketidakmampuan pemerintah daerah dalam mencari solusi untuk pembiayaan pendidikan dan kesehatan,” ujar Agus.
Dia juga meminta agar pengawasan terhadap dana sumbangan dilakukan secara transparan dan terbuka agar masyarakat dapat melihat penggunaan uang tersebut. “Jika dana ini dikelola dengan baik dan transparan, ini bisa menjadi contoh positif. Namun jika tidak, ini akan merusak niat baik,” tegas Agus.
Solusi : Pengawasan Ketat dan Alternatif Pendanaan
Sebagai solusi, Agus Pambagio menyarankan agar kebijakan donasi ini dibatalkan jika memunculkan kegaduhan atau kebingungan publik. Ia juga mengusulkan agar Pemprov Jabar fokus pada pengoptimalan pengelolaan aset daerah dan menggali potensi dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) untuk membantu sektor kesehatan dan pendidikan. “Pemerintah daerah harus lebih kreatif dalam mencari alternatif pendanaan, jangan hanya mengandalkan masyarakat,” pungkas Agus.
Antara Niat Baik dan Potensi Beban Baru
Kebijakan donasi Rp1.000 per hari yang digagas oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi memang memiliki niat baik untuk meningkatkan kesejahteraan sosial di daerahnya, namun implementasinya dinilai kontroversial. Meskipun berbasis pada semangat gotong royong, penggunaan Surat Edaran untuk kebijakan yang melibatkan masyarakat luas memunculkan berbagai pertanyaan. Kritikan datang bukan hanya dari segi sosiologis, tetapi juga terkait dengan ketidakjelasan mekanisme pengelolaan dan potensi penyalahgunaan dana.
Sebagai langkah ke depan, penting bagi Pemprov Jawa Barat untuk memastikan bahwa kebijakan semacam ini diimbangi dengan transparansi dan pengawasan yang ketat, serta lebih mengedepankan solusi alternatif dalam pembiayaan sektor-sektor penting seperti pendidikan dan kesehatan. | BajambaNews.Com | */Redaksi | *** |
 
		
1 Comment
oke